Tergeletak manja di sepanjang jalan nasional lintas Pekanbaru-Tanjungbuton Siak. Diikat sebatang jalan dua jalur ke ibukota Kabupaten Siak, dengan jarak tempuh 15 menit kecepatan 80 Km/Jam. Inilah Kampung Dayun. Teraju utamanya seorang anak muda yang disapa warganya dengan sapaan hangat Tok Penghulu. Berbekal kelincahan tradisi [silat dan sistem pengobatan awam], Nugrik ialah sosok yang mampu “menggerakkan” semua dimensi kampung secara lunak dan hanif.
Kampung ini dihuni banyak suku bangsa. Tak semata Melayu. Orang Dayun dulunya dikenal sebagai orang kampung terpencil. Jauh jarak perjalanan moda angkutan air [sampan kulit bulat] menuju pasar Siak Sri Indrapura. Berkat Chevron, segalanya berubah. Orientasi ruang mereka diangkat arasynya oleh kehadiran jalan raya yang tersambung ke ibukota Provinsi Riau, dan merekah ke wilayah perairan Selat Melaka.
Menjadi modern tidak mesti meninggalkan tradisi. Terbukti di Kampung ini. Kampung Dayun. Diskusi Kelompok Terpumpun [FGD/Focus Group Discussion] sempena kegiatan Pengabdian pada Masyarakat DIPA LPPM-FISIP Unri, berlangsung hangat dan menggelegak. Ya, dengan sebuah tujuan membongkar sisi kekuatan dan kelemahan yang menggelung kehidupan warga kampung pilihan Provinsi Riau tingkat Nasional tahun 2024.
Ruth Benedict seorang antropolog garda depan, pernah memperkatakan bahwa rerangkai ruhani orang-orang yang hidup dan mendiami kawasan seklusi; kampung-kampung, kawasan pastoral dan jauh jarak rengkuhnya dari ruang perkotaan, dilekatkan dalam gambaran masyarakat synergy tinggi [high synergy people]. Inilah yang dijahit oleh Nugrik sang Penghulu di antara benaman ujung jarum benang ke setiap warganya. Bahwa Dayun terdepan dalam segala ihwal. Pusat kator Kepolisian Resor Siak bertampuk di Kampung ini. Bukan di Kota Siak Sri Indrapura. Artinya, model dan perilaku berlalu lintas, tertib hukum dan tertib sosial menjadi beban bagi warga Dayun untuk dipraktikkan saban detik. Ini salah satu seruak cahaya peradaban.
Kegemilangan lain? Moda healing tradisi yang dipersembahkan kampung ini kepada orang-orang modern perkotaan di Riau. Jalan utama yang mengikat kemauan healing tradisi ini adalah uji dari high synergy itu sendiri. Ketika harus bersepakat memasuki rezim turisme modern, Dayun menjawabnya dengan kepiawaian ibu-ibu kampung dalam meng-ada-kan makanan subsitusi berbasis ekologi kampung aquatika. Makanan subsitusi ini juga berhajat tidak semata demi rezim turisme, tapi yang lebih vital adalah demi tumbuh kembang anak, anti busung lapar, anti aging dan anti stunting yang menjadi beban nasional.
Termasuk penyakit-penyakit degeneratif lainnnya. Pola hidup sehat, gaya hidup dan pola makan, harus memenuhi unsur-unsur kesetaraan nutrisia, walau berbahan baku lokal. Sekaligus dalam kerangka memperkaya diversifikasi makanan substitusi [makanan pengganti]; bisa itu bahan baku keladi, sukun, keladi serawak, seropong, untuk memenuhi kebutuhan akan karbohidrat. Bisa pula bersumber dari tumbuhan hutan di kawasan Zamrud yang menjadi backdrop alami kampung ini yang kaya kandungan sikrosa [vitalitas tubuh dan kaya hidrasi]. Termasuk makanan olahan berbasis biota air yang kaya di danau Zamrud/ Tasik Atas/ Tasik Pulau Besar dan juga Tasik Bawah.
Masyarakat synergi tinggi Dayun, diperkawini secara silang dalam kualitas feminine, alias visi gender yang kuat di kalangan emak-emak selaku makhluk domestika. Diperkuat lagi rencana besar Karang Taruna dan Ketua RT Dayun untuk menghayun satu program besar demi menggerakkan roda ekonomi melalui BUMDES. Ide besarnya? Memperbesar keran dolar masuk ke kampung ini lewat turisme tematik aquatic. Sejatinya turisme itu bukan tujuan. Tapi hanya instrumen untuk membuka dunia Dayun ke dunia luar. Secara prinsip, “pariwisata atau turisme itu sendiri adalah hasil dari kebudayaan yang kuat dan teruji”. Bali dan Maladewa [Maldives] telah membuktikan itu. Bali dikenal sebagai destinasi utama turisme, tersebab oleh synergy tinggi [high synergy] warganya dalam memandang turisme selaku industri non-cerobong asap.
Dayun mulai mengayuh ciau-dayung non-cerobong asap itu lewat upaya menghadirkan berjenis cendera mata yang mereka ingsut menjadi “cendera hati dan cendera kenangan”. Untuk sampai ke tahap ini, tiada pilihan: memperkuat dan memperderas energi sosial warga terutama kaum puan dan upaya menyambungkannya dengan ide “distance room” dari hotel-hotel berbintang di Pekanbaru demi terbitnya wisata tematis menuju pusat healing tradisi dengan jenis tamu-tamunya harus tematis. Yang penting tetamu tematis itu secara sengaja mau menggelontorkan dollar, bukan lagi rupiah.
“Distance room” [kamar jarak jauh] hotel bintang 4 [four stars] di Pekanbaru adalah sebuah retas kreatif dan niscaya dalam semangat kolaboratif lewat pihak ketiga. Ini yang mulia dirintis. Pusat healing itu tetap mempertajuk Danau Zamrud selaku mahkota utama sebagai tiara hutan heterogen tropis yang tiada duanya. Sebuah kawasan danau yang terletak di ruang paya/rawa gambut. Sepupu pertiwi dari corak danau rawa gambut ini hanya terdapat di Finlandia [Negara Skandinavia].
Pola mendatangi ruang healing tradisi ini juga dimuatkan secara padat relasi kualitas feminine dalam menanggapi ruang/ spatial danau gambut terluas di dunia ini. Dia tidak dicerobohi oleh sejumlah perselorohan ala lelaki/ maskulin. Tapi harus didatangi dalam pola senyap, jeda, spasi, spacement, interupsi diam serba masygul dalam kualitas femininitas yang tinggi dan ranggi. Kenapa? “Bila Anda ingin mengenal Tuhan [Yang Maha Kuasa] secara lebih dekat dan karib, belajarlah dari seorang perempuan yang merawat diam!!!”. Berseteguh dalam senyap dan merawat segala ihwal yang terhampar di depan mata. Mak atau Bu Cor telah membuktikan itu pada sebongkah dangau murung di tepian Zamrud.
Anak-anak tempatan yang menjadi pandu dalam lorong pelayanan hotel bintang itu, bisa pula memperkenal tidur di atas pelantar [floating] bagi para tamu tematis dalam gaya keluarga tropis, alias mengenakan kelambu. Dan, para anak muda lokal juga bisa diperkaya dengan kualitas feminin dimensi lain; melayani dalam sabar dan piawai dalam olahan content creator, termasuk kemampuan membangun titik-titik mitos sebagai titik al-mulaqad [rendez-vous] untuk pengambilan foto-foto selfie para tamu tematis itu di sepanjang perjalanan. Fadilat dari program tematis-feminin ini, berkontribusi bagi masyarakat lokal dan terlibat langsung dalam gerak ekonomi kampung sendiri.
Inilah materi yang digesa lewat kegiatan Pengabdian pada Masyarakat bertajuk: “Visi Gender Makanan Olahan Substitusi-Derivatif dan Moda Healing Masyarakat Aquatic”, berlangsung di Kampung Dayun. Kegiatan ini sokong tenaga Dosen teras Sosiologi KJFD Masyarakat dan Kebudayaan Aquatik; Risdayati, Teguh Widodo, Robi Armilus, Syamsul Bahri, Resdati dan Yusmar Yusuf. Kegiatan berlangsung sejak 15-16 September 2024. Adi Hidayat, Ningsi Putri, Ayu Fitrianingsih adalah tiga orang mahasiswa yang menanam minat mereka dalam studi masyarakat aquatik pada dimensi sosiologis. Mereka bertiga ini tersambung dalam inisiasi tugas akhir selaku pemikul gelar kesarjanaan dalam ilmu sosial. Khususnya Sosiologi. RO/yy